Kamis, 07 September 2017

Lagu The Changcuters dan Cerita Pengabdian


Tulisan ini dipersembahkan untuk seluruh Mahasiswa KKNMU Untuk Negeri 2017, angkatan IV dan masyarakat Desa Seri Kembang III, Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Tak tampak gedung yang menjulang. Hanya sawah yang membentang. Hijau daun pohon rindang. Sungai jernih penuh ikan. Orangpun beri senyuman. Riang saling jabat tangan. Tak tampak ada kemacetan. Hanya sepeda dan delman. Saling berkejar-kejaran. Bocah ramai berlarian. Mengitari taman-taman. Bernyanyi dan berpengangan. Bila malam gelap menjelang, langit terang bertabur bintang dan problema hidup seperti menghilang. Aku telah merindu, kampung halamanku. Tak sabar hatiku untuk lekas jumpa orang tua.[1]
            Begitu lagu salah satu band asal Indonesia, The Changcuters, membuat aku rindu akan kampung halaman baruku, Seri Kembang. Mendengarkan lagu ini, bukan Bogor (kampung halamanku) yang kuingat, melainkan Ogan Ilir. Bukanlah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap Bogor sebagai tanah kelahiranku. Tapi, aku merasa Seri Kembang telah menjadi kampung halaman bagiku. Karena di sana aku menemukan keluarga baru, walaupun tidak sedarah tapi aku dan mereka menjadi kami, keluarga. Tak terasa sudah satu minggu aku meninggalkan Desa Seri Kembang, yang memberikan banyak kenangan. Lagu itu benar-benar menggambarkan suasana di sana. Tak ku lihat ada gedung tinggi layaknya di sini (Jakarta), yang ada hanyalah pohon dan kebun di kanan dan kiri. Tak tampak ada macet layaknya di sini (Jakarta), yang ada hanyalah gerombolan sapi dan kambing yang dilepas bebas. Ramahnya masyarakat dan riangnya anak-anak membuat hati tentram dan nyaman. Hangatnya keluarga Pak Kades dan kebersamaan teman-teman baru membuat diri ini tak kuasa bergegas cepat-cepat pergi. Aku juga berasal dari sebuah desa di kabupaten Bogor, tapi Seri Kembang berbeda. Desa ini benar-benar desa (walaupun sudah ada Alfamart, hehe….). Suasana ini membuatku betah dan bertanya, mengapa satu bulan saja???? Jika Bang Toyyib saja betah berlama-lama meninggalkan istri dan anak tiga tahun lamanya tanpa alasan yang jelas. Maka kenapa kami hanya diberikan kesempatan satu bulan saja meninggalkan keluarga untuk alasan pengabdian??? Yah, kupikir awalnya satu bulan adalah waktu yang cukup untuk KKN. Ternyata aku salah prediksi, KNN ini justru menjadi guru bagiku. Guru untuk mengajarkan rasa syukur. Alhamdulillah, tanah ini kaya, indah, megah walau tanpa gedung-gedung tinggi seperti di Jakarta.
            Kesan pertama ketika ku injak tanah Ogan Ilir adalah Bolang[2].Bocah Petualang yang sangat ceria bermain dengan indahnya alam. Iya, aku merasa masa kecilku kembali lagi. Masa kecil yang aku habiskan untuk bermain, mencari ikan di sawah, memetik jeruk di kebun, memanjat pohon jambu, bermain layangan di lapangan. Rasanya media bermainku hanya alam ini. Sudah sekitar 14 tahun lalu aku merasakan indahnya alam untuk bermain. Sekarang, hanya tinggal kenangan. Namun ketika aku sampai di Palembang dan diantarkan ke Ogan Ilir, aku merasakan kembali suasana masa kecilku yang amat ku rindu. Bagaikan Bolang yang berangkat ke Palembang, ke Seri Kembang. Senang bukan kepalang.
Sambil menjalankan program, aku dan teman-teman sekelompok mencuri waktu berjalan ke kebun nanas dan karet untuk berpetualang. Menakjubkan, menjadi seorang petani karet tidak semudah yang kubayangkan. Ku pegang pahat[3], batang karet ku sayat. Tak ku sangka betapa sulitnya menyayat batang pohon karet. Ternyata ini yang dilakukan oleh masyarakat yang mayoritas sebagai petani karet. Di waktu subuh pergi ke kebun, menyayat batang pohon karet, dan memanen setiap hari. Pemandangan yang cukup asing bagiku melihat keseharian masyarakat desa. Sepi di pagi hari, ramai di sore yang cerah.
Bocah beramai-ramai setiap malam ke posko untuk belajar, mengaji, mengerjakan PR, bermain, bahkan hanya sekedar berbincang dengan ayuk[4] dan kakak[5] KKN. Mereka antusias menyambut kami. Setiap bertemu di jalan atau dimanapun, mereka selalu menyapa dan berteriak “KKN!! KKN!!” dengan wajah sumringah. Haru melihat betapa gembiranya mereka kedatangan kami dari berbagai daerah. Akupun gembira, kedatanganku dan teman-teman KKN lainnya sangat diterima. Hubunganku dengan anak-anak semakin hari semakin dekat. Aku tahu, bahwa mereka tidak ingin kami pulang. Sebab mereka ingin tetap ada yang membimbing belajar dan bermain. Berat hati ini ketika membaca surat-surat yang diberikan oleh anak-anak sebelum kepulangan kami. Terlebih jika aku ingat ketika salah seorang dari mereka menginginkan aku tetap tinggal di Seri Kembang untuk mengajar sampai ia pintar, “Dek, ayuk minta maaf. Ayuk ndak bisa lama-lama di sini. Walaupun ayuk pulang, kamu harus tetap semangat mengaji, menghafal al-quran, dan belajar” Berat hati ini mengatakannya.
Petualangan ini menjadi episode paling berharga, dan menakjubkan selama aku hidup. Selalu setiap teman dan dosenku bertanya “Bagaimana KKN di Palembang?” Aku selalu menjawab “Enak, pengen nambah sebulan lagi.” Jawaban itu adalah jawaban paling pas untuk menggambarkan KKN ini. Enak, yang bikin enak yaitu suasana desa penuh pepohonan, tanpa macet dan yang pasti kapal selam, lenjer, kulit, model, tekwan yang hampir setiap hari mampir di perutku. Puas rasanya aku bertemu sekawanan mpempek yang amat nikmat. Lelahnya melaksanakan program KKN tidak terasa, semua ringan kami kerjakan. Kami semua sangat senang dengan desa ini.  
Satu hari menjelang kepergian kami, hujan turun tiada henti, biasanya hujan tak begini. Mungkin ia tahu, bahwa esok aku dan teman-temanku akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. Langitpun menangis mengiringi kepergian kami. Tak sadar, pipiku basah. Tetesan air mata ini keluar tak bisa ditahan. Perpisahan ini selalu ku ingat setiap saat. Berat hati ku meninggalkan keluarga baruku, ibu, bapa, ayuk, kaka, adik, semua keluarga bagiku. Satu bulan saja, kurang rasanya. Masih banyak yang ingin aku lakukan. Petualangan ini menjadi kenangan. Tapi kenangan bisa menjadi sebuah cerita indah untuk bernostalgia kelak jika aku diberikan kesempatan bertemu keluarga baruku lagi di Ogan Ilir. Teman-teman baru dari berbagai daerah, keluarga baru layaknya keluarga sendiri, membuatku nyaman dan betah tinggal di Seri Kembang. Kisah petualangan ini akan menjadi tulisan yang luar biasa bagiku, akan aku bagikan ke anak dan cucuku nanti. Terimakasih Seri Kembang, kau hadiahkan aku kisah petualangan yang luar biasa berharga.
Alam yang indah. Alam yang penuh makna. Akankah aku kembali ke sana?

Jakarta, 7 September 2017, 20:10 WIB
Dinar Meidiana
Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta



[1] Lirik lagu Rindu Orang Tua dari The Changcuters.
[2] Si Bocah Petualang salah satu program sebuah stasiun TV swasta yang menggambarkan kehidupan anak-anak di desa. Biasanya setiap episode menceritakan tokoh Bocah yang berbeda dari setiap daerah di Indonesia.
[3] Pahat adalah alat untuk menyayat batang pohon karet untuk mengeluarkan getahnya.
[4] Panggilan kakak perempuan
[5] Panggilan kakak laki-laki