Rabu, 13 November 2019

Luna dan Ceritanya



            Habis gelap terbitlah terang, begitu judul buku yang menceritakan kisah seorang pahlawan perempuan pada masa kolonialisme, Raden Ajeng Kartini. Kini, langit Desa Silih Asih juga sedang merasakan terang setelah gelap menghalangi pandangannya terhadap bumi dan seluruh isinya beberapa bulan lamanya. Ya, bumi kala itu diselimuti awan kelabu yang membawa titik hujan untuk tanah di bumi. Berbulan-bulan awan putih hingga kelabu kehitaman mendominasi panggung alam semesta kala itu. Jika sudah tidak kuat menahan beban titik-titik air, awan itu akan menyirami bumi dengan lebat dan derasnya. Tak jarang ia membawa serta guntur dan angin.

Langit biru hari itu enggan diganggu awan walau sekedar untuk saling sapa. Awan tahu diri, ia pergi bersama angin menuju barat, menuju bagian langit lain yang mau menerima kehadirannya yang membawa kabar rintik hujan. Kini langit hanya ingin bersahabat dengan matahari. Langit sedang bahagia sebab manusia di bumi sangat senang akan persahabatan langit dan matahari. Dengan bersahabat dengan matahari, padi di sawah Pak Udin menguning dan mulai membungkuk yang artinya panen segera tiba, ikan asin Pak Asep menggaring dan bisa segera dijual, baju yang dijemur Bu Ani cepat mengering, bukan hanya itu es nong-nong Mang Bewok laris manis diserbu anak-anak SD saat jam istirahat tiba.

“Bu, kenapa langit senang melihat manusia?” Amna mulai mengekspresikan rasa ingin tahunya yang tinggi.

“Karena manusia senang, langit pun ikut senang. Langit yang berwarna biru bisa ikut mewarnai hari-hari manusia, bukan hanya hijaunya tumbuhan dan warna-warni bunga.”
     
      Amna menyimak jawaban Ibu dengan seksama. Sejak balita, Amna sudah biasa mendengarkan dongeng karangan Ibunya. Ibunya memang pintar sekali merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi kisah yang disusun rapi dan asik untuk didengar. Bahkan saat Amna masih dalam kandungan, Ibu tidak bosan membaca buku dan menulis kisah untuk diceritakan pada anak gadisnya kelak setiap menjelang tidur.

            Seperti saat ini, Amna berbaring di kasur mungilnya sambil memeluk boneka lumba-lumba berwarna abu tua kesayangannya. Sedangkan ibunya duduk di samping kanan Amna sambil mengelus rambut ikalnya yang berwarna kecokelatan, mirip sekali dengan ayahnya. Genap 8 tahun sudah Amna mendengar berbagai judul kisah dari Ibunya. Namun kisah kali ini belum pernah ia dengar sebelumnya. Sebab malam ini adalah hari ulang tahun Amna, jadi cerita yang Ibu perdengarkan tentu cerita yang belum pernah Amna dengar sebelumnya.

Setiap Amna ulang tahun, Ibunya memberikan satu cerita baru. Entah sudah berapa cerita yang sama yang sudah Amna dengar dari Ibunya, hingga ia hafal alur dan kata demi kata dari cerita itu. Namun ia tidak pernah bosan mendengar cerita ibunya. Setiap malam selalu ada pertanyaan dari Amna tentang tokoh atau alur dalam cerita. Kali ini ia sangat antusias mendengar cerita baru dari ibunya, ia berharap kantuk tidak segera datang sebab hari ini adalah hari yang ditunggunya. Bukan karena ini adalah hari ulang tahunnya, tapi karena hari ini ia akan mendengar cerita baru dari ibunya.  
            “Oh begitu. Oke lanjutkan, bu”

“hmm sudah jam 9 lewat 15, memangnya Amna belum ngantuk?”

“Beluuuum!!! Amna belum ngantuk. Ayo lanjutkan, Bu”

“Oke kalau begitu” Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya.

            Semua manusia merasa senang bisa hidup di bawah langit yang cerah. Langit berpikir ini semua berkat matahari yang menjadikannya sahabat karib. Belum lagi setiap malam, setelah matahari pergi ke peraduan, si cantik rembulan beserta rombongan bintang membuat langit semakin indah dipandang. Bangganya langit saat itu, matahari, bulan, dan bintang berada di pihaknya. Biarlah awan diajak angin ke tempat lain, ke atas pengunungan, ke atas lautan, ke atas gurun pasir, atau ke manapun asal jangan ke tempat ini, desa yang sangat disayanginya.

Setiap hari langit selalu menunjukkan birunya, semakin membiru dikala ia melihat rombongan anak SD berjalan menuju sekolahnya melewAni perkebunan ketimun Pak Atang yang mulai berbunga pohonnya, tanda tak lama lagi akan tumbuh ketimun yang segar. Belum lagi ketika melihat burung-burung berkeliaran mencari makan di persawahan Pak Udin. Langit terhibur bukan main melihat mereka terbang terbirit-birit karena kaget bertemu dengan boneka sawah buatan Hendra, anak Pak Udin yang masih 12 tahun.

Ibu bercerita dengan kalimat yang rapi dan sangat detail. Ia ingin Amna bisa memiliki imajinasi sendiri dan membayangkan apa yang ia ceritakan. Kalau Steve Allen mengatakan bahwa radio adalah teater pikiran, maka ia ingin saat ia mulai bercerita kata demi kata, kalimat demi kalimat dan menjadi sebuah narasi kisah, Amna dapat menciptakan teaternya sendiri di dalam pikirannya.

Belum lagi sempat mengambil nafas untuk kalimat selanjutnya, Amna sudah melontarkan pertanyaan kembali, “Bu, kenapa langit sayang sama desa itu? Memangnya selain ada Pak Udin, Hendra, anak-anak SD yang pergi sekolah, Bu Ani, Pak Atang, di sana ada apa lagi?” Amna selalu punya pertanyaan

“Jawabannya ada di akhir cerita. Supaya seru, kamu tidur sekarang ya. Besok Ibu janji akan lanjutkan ceritanya spesial buat Amna”

            “Yaah. Amna penasaran, Bu”

            “Tapi ini sudah malam, kamu besok kan harus sekolah”

            “Yasudah. Amna tidur”

“Oke tuan puteri. Sekarang tidur, jangan lupa berdoa pada Allah, supaya Amna besok gak kesiangan solat subuh”

            “Bismillaahirrahmaanirrahiim…….”

            Malam itu langit tak ubahnya dalam cerita Ibu pada Amna, biru khas langit malam ditemani bintang yang entah berapa jumlahnya. Ibu tersenyum melihat langit begitu indah malam itu lewat jendela kamar Amna saat hendak menutup jendela. Si cantik rembulan tak ketinggalan, rupayan ia sudah bersolek bak puteri sejagat semalam. Angin malam berhembus masuk hingga mengibaskan rambut Ibu. Jendela ditutup, Amna sudah mulai mencoba memejamkan mata walau dalam hAni dan pikirannya masih ada rasa penasaran yang teramat akan kelanjutan cerita dari Ibunya.

***

Malam ini tanpa Amna meminta, Ibu sudah siap menceritakan kelanjutan kisah Langit yang sayang pada desa Silih Asih. Seperti biasa, Ibu duduk di samping kanan Amna sambil mengelus rambut ikalnya. Namun yang berbeda kali ini, Amna tidak memeluk boneka lumba-lumba kesayangannya, melainkan memeluk bantal embe berwarna ungu dari ayahnya yang sangat empuk dan tidak kalah disayang dari boneka lumba-lumba. 

Sampai suatu saat, matahari semakin mengeluarkan panasnya. Manusia merasakan panas yang luar biasa. Tanah mulai mengeras, air sumur mulai tak terlihat, dedaunan menguning kecokelatan, sawah Pak Udin mulai pecah-pecah bak bibir yang sedang panas dalam, ketimun Pak Atang juga gagal tumbuh besar sebab terlanjur menguning akibat panasnya matahari dan tak ada air untuk fotosintesis, orang-orang di desa itu mulai mencari mata air di tempat lain untuk masak, mandi, maupun buang air.

Orang-orang di desa itu tidak patah semangat, tidak mengeluh, apalagi menyerah. Mereka sangat kuat dan semangat untuk mencari air. Setiap orang saling membantu dan bekerjasama. Setelah sekumpulan bapak-bapak berpencar mencari sumber mata air di atas bukit dan berhasil menemukannya, Ibu-ibu mulai mengumpulkan ember, tali, dan bamboo untuk mengangkut air dari bukit ke desa. Tidak ada yang berebut air. Semua tertib mengambil air sesuai kebutuhan. Tidak serakah, sebab semua orang membutuhkan air saat itu.

Langit mulai merasa sedih, persahabatannya dengan matahari mengundang kemarau yang panjang. Berbeda dengan kemarau tahun-tahun sebelumnya. Rasanya kemarau kali itu sangat sulit, paceklik. Setiap hari rasanya haus juga kering kerontang. Warga desa Silih Asih mulai mencari sumber mata air ke atas bukit Bentang yang letaknya di sebelah Selatan berjarak 10km dari desa. Semua warga bergantian mengambil air ke sana. Tidak banyak yang mereka ambil. Sedikit-sedikit asal mencukupi kebutuhan minum dan masak. Biarlah mandi dua atau tiga hari sekali, yang penting bisa minum dan masak. Setiap hari mereka naik turun bukit untuk mendapatkan air. Tak kenal lelah, sebab tak ada lagi pilihan bagi mereka untuk menyerah. Jika menyerah, anak-anaknya akan merintih kehausan.

“Ya ampun. Terus gimana nasib mereka semua, bu?”

Mereka semua pasrah dengan kondisi yang mereka hadapi. Pak Udin maupun Pak Atang yang gagal panen sudah pasrah akan merugi. Langit mulai ikut bersedih, ia tak tega menyaksikan anak-anak SD yang kelelahan dan berpeluh keringat saat melewAni kebun Pak Atang menuju sekolah. Kini tak ada lagi manusia yang sanggup melihat birunya langit yang indah dengan mata telanjang karena silau akan sinar matahari yang semakin menyengat. Langit mulai mencari siasat, bagaimana caranya agar desa kesayangannya bisa mendapatkan air. Lalu ia ingat akan awan. Dulu memang setiap awan datang di tengah langit dan bumi, ia kesal karena tidak bisa menyaksikan manusia yang ada di desa Silih Asih. Namun ia juga sadar, kehadiran awan sangat dibutuhkan untuk desa itu. Awan bisa menurunkan hujan untuk desa itu. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menunggu awan datang ke atas desa itu.

“Lalu ke mana perginya awan, bu?” ibu tak menjawab pertanyaan Amna, ia langsung melanjutkan ceritanya yang sekaligus menjawab pertanyaan gadis berambut ikal itu.

Kini matahari sedang bekerjasama dengan laut. Matahari memberikan panasnya ke bumi termasuk laut. Saat laut kepanasan, air laut menguap dan membentuk titik-titik uap air di udara. Terciptalah awan yang akan menyiram seisi bumi dengan air.  Semakin banyak titik-titik uap yang berkumpul, semakin banyak pula air yang terkandung di awan, dan karena itu semakin gelap pula warna awan.

Tidak sampai di situ, bukan hanya matahari dan laut yang bekerjasama, tapi angin juga ikut membantu. Ia membawa awan pergi ke berbagai tempat. Saat awan mulai tidak kuat menahan beban titik air, awan akan menjatuhkan semua air ke permukaan bumi. Hujan, namanya. Hujan akan turun di semua tempat yang ia datangi. Sawah Pak Udin, kebun Pak Atang, rumah Bu Ani, rumah Pak Asep, pokoknya semuanya. Hujan tidak pernah pilih-pilih tempat mana yang akan ia basahi. Tidak pandang bulu. Semuanya kebagian.

“Tidak pandang bulu itu apa, bu?”

“Artinya, tidak pilih-pilih. Tidak membeda-bedakan. Semuanya sama. Sama-sama kebagian air hujan. Begitulah sifat hujan”

“Oh gitu… terus hujannya turun di desa itu gak, bu?”

Ternyata desa Silih Asih menjadi salah satu tempat tujuan angin membawa awan. Sore itu di desa Silih Asih, tanah kering kerontang mulai basah hingga menembus beberapa centimeter dalamnya. Air mulai menggenang di sawah Pak Udin, tetesan hujan juga mampir di pohon ketimun Pak Atang yang gagal berbuah, sumur-sumur mulai terisi setetes demi setetes sambil menunggu aliran air resapan dari dalam tanah. Anak-anak SD mandi hujan sambil berlarian, Ibu Ani dan ibu-ibu lainnya tersenyum sumringah karena tidak akan kesulitan mencari air untuk masak. Semua orang di desa bersorak-sorai menyambut datangnya hujan sambil mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa, “Alhamdulillaah! Alhamdulillaah!! Hujaan!” tak henti-hentinya mereka bersyukur pada Allah, karena Dia telah menjadikan langit, matahari, bumi, laut, dan juga angin bekerjasama untuk memberikan kenikmatan kepada manusia dan seluruh alam.

“Seluruh alam?”

“Iya, seluruh alam. Ingat kan tadi ibu bilang apa? Hujan tidak pandang bulu. Hujan bukan hanya nikmat bagi manusia, tapi hewan, tumbuhan, dan semua yang ada di bumi ini.”

“Iya juga ya, hujan itu nikmat. Kalau gak ada hujan, tanah kering, sawah kering, semua orang kehausan, kepanasan, gak bisa mandi juga. Kan gak enak ya, bu”

“Tentu, bukan cuma hujan, panas matahari juga nikmat. Kalau tidak ada matahari, nanti air laut gak bisa menguap, gak akan ada awan, ga akan ada hujan. Semua itu adalah cinta kasih Allah kepada seluruh ciptaanNya di bumi. Arrohman, artinya maha pengasih, salah satu dari 99 nama yang sangat indah, Asma’ul Husna”

“Wah, keren, bu. Terus pertanyaanku yang kemarin jawabannya apa?”

“Tentang kenapa langit sayang sama desa Silih Asih?”

“Iya itu, bu”

“Langit sayang sama desa itu karena orang-orang di sana saling menyayangi. Ketika keadaan sulit, mereka saling membantu, tidak berebut air, tidak serakah. Sama seperti apa yang diperintahkan Allah. Setiap manusia harus saling membantu dalam kesulitan. Orang yang mampu dan kuat membantu orang yang lemah. Makanya desa itu dinamakan desa Silih Asih, artinya saling mengasihi”

 “Terimakasih, bu. Ceritanya baguuuuuss banget. Amna sukaaaa banget”

“Sama-sama, sayang. Sekarang kamu tidur ya. Sudah setengah sepuluh. Untung besok hari libur. Jangan lupa berdoa ya” ibu mencium kening Amna dan bergegas menuju jendela, sementara Amna berdoa untuk segera memejamkan mata. Kantuk sudah mulai membuat kelopak matanya berat. Dalam hitungan menit, ia sudah tidur dengan pulas.

Ibu memandang langit cerah malam itu, rembulan tidak lagi bulat sempurna seperti malam kemarin. Namun cantiknya tak pernah pudar. Sejak dulu ia selalu suka memandang bulan dari jendela kamarnya. Setiap ia melihat bulan, ia teringat sosok ayahnya yang sangat menggemari astronomi walaupun tidak punya pendidikan tinggi. Namun ayahnya selalu gemar membaca buku ensiklopedia tentang astronomi. Ia hapal betul tentang rasi bintang, gerhana bulan dan matahari, dan masih banyak lagi yang diketahui ayahnya.

Ayahnya juga sering menceritakan kisah, salah satunya kisah tentang astronot yang berhasil menginjakan kakinya di bulan, Neil Armstrong namanya. Kecintaan ayahnya pada dunia astronomi menjadi alasan ia memberikan nama pada anaknya. Luna, adalah nama Ibunya Amna yang berarti bulan. Karena itulah ia senang melihat bulan, ia seakan melihat dirinya sendiri dan ayahnya yang sudah lama pergi untuk selamanya. Dulu setiap malam, selain kisah Neil Armstrong, ayahnya selalu bercerita tentang bintang, bulan, matahari, planet, dan seisi bumi.

Luna senang bisa mendapatkan cerita dari ayahnya walaupun ia tidak yakin bahwa ada manusia yang berhasil menginjakkan kaki ke bulan. Namun kebiasaan bercerita yang ditularkan ayahnya, ia tularkan pada Amna, anaknya. Kelak ia ingin Amna menjadi anak yang cerdas.

Kini, Luna bersiap menyusun cerita-cerita menarik berikutnya untuk anak tercinta, Amna.

***