Rabu, 13 November 2019

Luna dan Ceritanya



            Habis gelap terbitlah terang, begitu judul buku yang menceritakan kisah seorang pahlawan perempuan pada masa kolonialisme, Raden Ajeng Kartini. Kini, langit Desa Silih Asih juga sedang merasakan terang setelah gelap menghalangi pandangannya terhadap bumi dan seluruh isinya beberapa bulan lamanya. Ya, bumi kala itu diselimuti awan kelabu yang membawa titik hujan untuk tanah di bumi. Berbulan-bulan awan putih hingga kelabu kehitaman mendominasi panggung alam semesta kala itu. Jika sudah tidak kuat menahan beban titik-titik air, awan itu akan menyirami bumi dengan lebat dan derasnya. Tak jarang ia membawa serta guntur dan angin.

Langit biru hari itu enggan diganggu awan walau sekedar untuk saling sapa. Awan tahu diri, ia pergi bersama angin menuju barat, menuju bagian langit lain yang mau menerima kehadirannya yang membawa kabar rintik hujan. Kini langit hanya ingin bersahabat dengan matahari. Langit sedang bahagia sebab manusia di bumi sangat senang akan persahabatan langit dan matahari. Dengan bersahabat dengan matahari, padi di sawah Pak Udin menguning dan mulai membungkuk yang artinya panen segera tiba, ikan asin Pak Asep menggaring dan bisa segera dijual, baju yang dijemur Bu Ani cepat mengering, bukan hanya itu es nong-nong Mang Bewok laris manis diserbu anak-anak SD saat jam istirahat tiba.

“Bu, kenapa langit senang melihat manusia?” Amna mulai mengekspresikan rasa ingin tahunya yang tinggi.

“Karena manusia senang, langit pun ikut senang. Langit yang berwarna biru bisa ikut mewarnai hari-hari manusia, bukan hanya hijaunya tumbuhan dan warna-warni bunga.”
     
      Amna menyimak jawaban Ibu dengan seksama. Sejak balita, Amna sudah biasa mendengarkan dongeng karangan Ibunya. Ibunya memang pintar sekali merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi kisah yang disusun rapi dan asik untuk didengar. Bahkan saat Amna masih dalam kandungan, Ibu tidak bosan membaca buku dan menulis kisah untuk diceritakan pada anak gadisnya kelak setiap menjelang tidur.

            Seperti saat ini, Amna berbaring di kasur mungilnya sambil memeluk boneka lumba-lumba berwarna abu tua kesayangannya. Sedangkan ibunya duduk di samping kanan Amna sambil mengelus rambut ikalnya yang berwarna kecokelatan, mirip sekali dengan ayahnya. Genap 8 tahun sudah Amna mendengar berbagai judul kisah dari Ibunya. Namun kisah kali ini belum pernah ia dengar sebelumnya. Sebab malam ini adalah hari ulang tahun Amna, jadi cerita yang Ibu perdengarkan tentu cerita yang belum pernah Amna dengar sebelumnya.

Setiap Amna ulang tahun, Ibunya memberikan satu cerita baru. Entah sudah berapa cerita yang sama yang sudah Amna dengar dari Ibunya, hingga ia hafal alur dan kata demi kata dari cerita itu. Namun ia tidak pernah bosan mendengar cerita ibunya. Setiap malam selalu ada pertanyaan dari Amna tentang tokoh atau alur dalam cerita. Kali ini ia sangat antusias mendengar cerita baru dari ibunya, ia berharap kantuk tidak segera datang sebab hari ini adalah hari yang ditunggunya. Bukan karena ini adalah hari ulang tahunnya, tapi karena hari ini ia akan mendengar cerita baru dari ibunya.  
            “Oh begitu. Oke lanjutkan, bu”

“hmm sudah jam 9 lewat 15, memangnya Amna belum ngantuk?”

“Beluuuum!!! Amna belum ngantuk. Ayo lanjutkan, Bu”

“Oke kalau begitu” Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya.

            Semua manusia merasa senang bisa hidup di bawah langit yang cerah. Langit berpikir ini semua berkat matahari yang menjadikannya sahabat karib. Belum lagi setiap malam, setelah matahari pergi ke peraduan, si cantik rembulan beserta rombongan bintang membuat langit semakin indah dipandang. Bangganya langit saat itu, matahari, bulan, dan bintang berada di pihaknya. Biarlah awan diajak angin ke tempat lain, ke atas pengunungan, ke atas lautan, ke atas gurun pasir, atau ke manapun asal jangan ke tempat ini, desa yang sangat disayanginya.

Setiap hari langit selalu menunjukkan birunya, semakin membiru dikala ia melihat rombongan anak SD berjalan menuju sekolahnya melewAni perkebunan ketimun Pak Atang yang mulai berbunga pohonnya, tanda tak lama lagi akan tumbuh ketimun yang segar. Belum lagi ketika melihat burung-burung berkeliaran mencari makan di persawahan Pak Udin. Langit terhibur bukan main melihat mereka terbang terbirit-birit karena kaget bertemu dengan boneka sawah buatan Hendra, anak Pak Udin yang masih 12 tahun.

Ibu bercerita dengan kalimat yang rapi dan sangat detail. Ia ingin Amna bisa memiliki imajinasi sendiri dan membayangkan apa yang ia ceritakan. Kalau Steve Allen mengatakan bahwa radio adalah teater pikiran, maka ia ingin saat ia mulai bercerita kata demi kata, kalimat demi kalimat dan menjadi sebuah narasi kisah, Amna dapat menciptakan teaternya sendiri di dalam pikirannya.

Belum lagi sempat mengambil nafas untuk kalimat selanjutnya, Amna sudah melontarkan pertanyaan kembali, “Bu, kenapa langit sayang sama desa itu? Memangnya selain ada Pak Udin, Hendra, anak-anak SD yang pergi sekolah, Bu Ani, Pak Atang, di sana ada apa lagi?” Amna selalu punya pertanyaan

“Jawabannya ada di akhir cerita. Supaya seru, kamu tidur sekarang ya. Besok Ibu janji akan lanjutkan ceritanya spesial buat Amna”

            “Yaah. Amna penasaran, Bu”

            “Tapi ini sudah malam, kamu besok kan harus sekolah”

            “Yasudah. Amna tidur”

“Oke tuan puteri. Sekarang tidur, jangan lupa berdoa pada Allah, supaya Amna besok gak kesiangan solat subuh”

            “Bismillaahirrahmaanirrahiim…….”

            Malam itu langit tak ubahnya dalam cerita Ibu pada Amna, biru khas langit malam ditemani bintang yang entah berapa jumlahnya. Ibu tersenyum melihat langit begitu indah malam itu lewat jendela kamar Amna saat hendak menutup jendela. Si cantik rembulan tak ketinggalan, rupayan ia sudah bersolek bak puteri sejagat semalam. Angin malam berhembus masuk hingga mengibaskan rambut Ibu. Jendela ditutup, Amna sudah mulai mencoba memejamkan mata walau dalam hAni dan pikirannya masih ada rasa penasaran yang teramat akan kelanjutan cerita dari Ibunya.

***

Malam ini tanpa Amna meminta, Ibu sudah siap menceritakan kelanjutan kisah Langit yang sayang pada desa Silih Asih. Seperti biasa, Ibu duduk di samping kanan Amna sambil mengelus rambut ikalnya. Namun yang berbeda kali ini, Amna tidak memeluk boneka lumba-lumba kesayangannya, melainkan memeluk bantal embe berwarna ungu dari ayahnya yang sangat empuk dan tidak kalah disayang dari boneka lumba-lumba. 

Sampai suatu saat, matahari semakin mengeluarkan panasnya. Manusia merasakan panas yang luar biasa. Tanah mulai mengeras, air sumur mulai tak terlihat, dedaunan menguning kecokelatan, sawah Pak Udin mulai pecah-pecah bak bibir yang sedang panas dalam, ketimun Pak Atang juga gagal tumbuh besar sebab terlanjur menguning akibat panasnya matahari dan tak ada air untuk fotosintesis, orang-orang di desa itu mulai mencari mata air di tempat lain untuk masak, mandi, maupun buang air.

Orang-orang di desa itu tidak patah semangat, tidak mengeluh, apalagi menyerah. Mereka sangat kuat dan semangat untuk mencari air. Setiap orang saling membantu dan bekerjasama. Setelah sekumpulan bapak-bapak berpencar mencari sumber mata air di atas bukit dan berhasil menemukannya, Ibu-ibu mulai mengumpulkan ember, tali, dan bamboo untuk mengangkut air dari bukit ke desa. Tidak ada yang berebut air. Semua tertib mengambil air sesuai kebutuhan. Tidak serakah, sebab semua orang membutuhkan air saat itu.

Langit mulai merasa sedih, persahabatannya dengan matahari mengundang kemarau yang panjang. Berbeda dengan kemarau tahun-tahun sebelumnya. Rasanya kemarau kali itu sangat sulit, paceklik. Setiap hari rasanya haus juga kering kerontang. Warga desa Silih Asih mulai mencari sumber mata air ke atas bukit Bentang yang letaknya di sebelah Selatan berjarak 10km dari desa. Semua warga bergantian mengambil air ke sana. Tidak banyak yang mereka ambil. Sedikit-sedikit asal mencukupi kebutuhan minum dan masak. Biarlah mandi dua atau tiga hari sekali, yang penting bisa minum dan masak. Setiap hari mereka naik turun bukit untuk mendapatkan air. Tak kenal lelah, sebab tak ada lagi pilihan bagi mereka untuk menyerah. Jika menyerah, anak-anaknya akan merintih kehausan.

“Ya ampun. Terus gimana nasib mereka semua, bu?”

Mereka semua pasrah dengan kondisi yang mereka hadapi. Pak Udin maupun Pak Atang yang gagal panen sudah pasrah akan merugi. Langit mulai ikut bersedih, ia tak tega menyaksikan anak-anak SD yang kelelahan dan berpeluh keringat saat melewAni kebun Pak Atang menuju sekolah. Kini tak ada lagi manusia yang sanggup melihat birunya langit yang indah dengan mata telanjang karena silau akan sinar matahari yang semakin menyengat. Langit mulai mencari siasat, bagaimana caranya agar desa kesayangannya bisa mendapatkan air. Lalu ia ingat akan awan. Dulu memang setiap awan datang di tengah langit dan bumi, ia kesal karena tidak bisa menyaksikan manusia yang ada di desa Silih Asih. Namun ia juga sadar, kehadiran awan sangat dibutuhkan untuk desa itu. Awan bisa menurunkan hujan untuk desa itu. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menunggu awan datang ke atas desa itu.

“Lalu ke mana perginya awan, bu?” ibu tak menjawab pertanyaan Amna, ia langsung melanjutkan ceritanya yang sekaligus menjawab pertanyaan gadis berambut ikal itu.

Kini matahari sedang bekerjasama dengan laut. Matahari memberikan panasnya ke bumi termasuk laut. Saat laut kepanasan, air laut menguap dan membentuk titik-titik uap air di udara. Terciptalah awan yang akan menyiram seisi bumi dengan air.  Semakin banyak titik-titik uap yang berkumpul, semakin banyak pula air yang terkandung di awan, dan karena itu semakin gelap pula warna awan.

Tidak sampai di situ, bukan hanya matahari dan laut yang bekerjasama, tapi angin juga ikut membantu. Ia membawa awan pergi ke berbagai tempat. Saat awan mulai tidak kuat menahan beban titik air, awan akan menjatuhkan semua air ke permukaan bumi. Hujan, namanya. Hujan akan turun di semua tempat yang ia datangi. Sawah Pak Udin, kebun Pak Atang, rumah Bu Ani, rumah Pak Asep, pokoknya semuanya. Hujan tidak pernah pilih-pilih tempat mana yang akan ia basahi. Tidak pandang bulu. Semuanya kebagian.

“Tidak pandang bulu itu apa, bu?”

“Artinya, tidak pilih-pilih. Tidak membeda-bedakan. Semuanya sama. Sama-sama kebagian air hujan. Begitulah sifat hujan”

“Oh gitu… terus hujannya turun di desa itu gak, bu?”

Ternyata desa Silih Asih menjadi salah satu tempat tujuan angin membawa awan. Sore itu di desa Silih Asih, tanah kering kerontang mulai basah hingga menembus beberapa centimeter dalamnya. Air mulai menggenang di sawah Pak Udin, tetesan hujan juga mampir di pohon ketimun Pak Atang yang gagal berbuah, sumur-sumur mulai terisi setetes demi setetes sambil menunggu aliran air resapan dari dalam tanah. Anak-anak SD mandi hujan sambil berlarian, Ibu Ani dan ibu-ibu lainnya tersenyum sumringah karena tidak akan kesulitan mencari air untuk masak. Semua orang di desa bersorak-sorai menyambut datangnya hujan sambil mengucap syukur pada Yang Maha Kuasa, “Alhamdulillaah! Alhamdulillaah!! Hujaan!” tak henti-hentinya mereka bersyukur pada Allah, karena Dia telah menjadikan langit, matahari, bumi, laut, dan juga angin bekerjasama untuk memberikan kenikmatan kepada manusia dan seluruh alam.

“Seluruh alam?”

“Iya, seluruh alam. Ingat kan tadi ibu bilang apa? Hujan tidak pandang bulu. Hujan bukan hanya nikmat bagi manusia, tapi hewan, tumbuhan, dan semua yang ada di bumi ini.”

“Iya juga ya, hujan itu nikmat. Kalau gak ada hujan, tanah kering, sawah kering, semua orang kehausan, kepanasan, gak bisa mandi juga. Kan gak enak ya, bu”

“Tentu, bukan cuma hujan, panas matahari juga nikmat. Kalau tidak ada matahari, nanti air laut gak bisa menguap, gak akan ada awan, ga akan ada hujan. Semua itu adalah cinta kasih Allah kepada seluruh ciptaanNya di bumi. Arrohman, artinya maha pengasih, salah satu dari 99 nama yang sangat indah, Asma’ul Husna”

“Wah, keren, bu. Terus pertanyaanku yang kemarin jawabannya apa?”

“Tentang kenapa langit sayang sama desa Silih Asih?”

“Iya itu, bu”

“Langit sayang sama desa itu karena orang-orang di sana saling menyayangi. Ketika keadaan sulit, mereka saling membantu, tidak berebut air, tidak serakah. Sama seperti apa yang diperintahkan Allah. Setiap manusia harus saling membantu dalam kesulitan. Orang yang mampu dan kuat membantu orang yang lemah. Makanya desa itu dinamakan desa Silih Asih, artinya saling mengasihi”

 “Terimakasih, bu. Ceritanya baguuuuuss banget. Amna sukaaaa banget”

“Sama-sama, sayang. Sekarang kamu tidur ya. Sudah setengah sepuluh. Untung besok hari libur. Jangan lupa berdoa ya” ibu mencium kening Amna dan bergegas menuju jendela, sementara Amna berdoa untuk segera memejamkan mata. Kantuk sudah mulai membuat kelopak matanya berat. Dalam hitungan menit, ia sudah tidur dengan pulas.

Ibu memandang langit cerah malam itu, rembulan tidak lagi bulat sempurna seperti malam kemarin. Namun cantiknya tak pernah pudar. Sejak dulu ia selalu suka memandang bulan dari jendela kamarnya. Setiap ia melihat bulan, ia teringat sosok ayahnya yang sangat menggemari astronomi walaupun tidak punya pendidikan tinggi. Namun ayahnya selalu gemar membaca buku ensiklopedia tentang astronomi. Ia hapal betul tentang rasi bintang, gerhana bulan dan matahari, dan masih banyak lagi yang diketahui ayahnya.

Ayahnya juga sering menceritakan kisah, salah satunya kisah tentang astronot yang berhasil menginjakan kakinya di bulan, Neil Armstrong namanya. Kecintaan ayahnya pada dunia astronomi menjadi alasan ia memberikan nama pada anaknya. Luna, adalah nama Ibunya Amna yang berarti bulan. Karena itulah ia senang melihat bulan, ia seakan melihat dirinya sendiri dan ayahnya yang sudah lama pergi untuk selamanya. Dulu setiap malam, selain kisah Neil Armstrong, ayahnya selalu bercerita tentang bintang, bulan, matahari, planet, dan seisi bumi.

Luna senang bisa mendapatkan cerita dari ayahnya walaupun ia tidak yakin bahwa ada manusia yang berhasil menginjakkan kaki ke bulan. Namun kebiasaan bercerita yang ditularkan ayahnya, ia tularkan pada Amna, anaknya. Kelak ia ingin Amna menjadi anak yang cerdas.

Kini, Luna bersiap menyusun cerita-cerita menarik berikutnya untuk anak tercinta, Amna.

***



Jumat, 09 Agustus 2019

Limitless but Limited

Kenapa sih pake judul kaya gitu? Emang tulisan ini tentang apa?

Aku adalah salah satu orang yang rada susah memahami sebuah konsep atau teori kalau kebanyakan kata-kata akademisi atau ilmiah. Kosa kata aku tak sebanyak mereka yang punya kecerdasan retorika. Jadi aku gunakan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami diriku sendiri.

Jadi gini, berawal dari keresahan saat sedang berkumpul bersama kawan. Sedari dulu bahkan sejak aku SD, handphone adalah salah satu benda yang sudah mulai dimiliki anak-anak seumuranku saat itu. Kala itu aku hanyalah seorang anak biasa tanpa kecanggihan handphone. Aku selalu menjadi kambing conge ketika teman-temanku berbincang sambil bermain handphoe dan membicarakan fitur handphone. Mereka hapal sekali tipe, merk, sampai perbedaan setiap hp. Aku hanya bisa melihat dan mendengar tanpa mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku merasa berjarak dengan mereka.

Singkat cerita seiring perkembangan zaman dan teknologi, aku masih menjadi anak tanpa kecanggihan gadget. Pada masa SMA blackberry mulai merambah ke kantong seragam teman-temanku. Aku bahkan baru memiliki hp saat aku kelas 2 SMA. Itupun hp buatan China yang orang suka sekali bully produk China. Sama halnya ketika SD, aku hanya kambing conge di antara teman-temanku membicarakan obrolan mereka di bbm. Teman-temanku saat itu tidak lagi bertukar nomor hp tapi pin BB. Apalagi ini? Ketika aku sms mereka tidak bisa balas karena tidak ada pulsa, adanya paket bbm. Aku merasa berjarak dengan mereka.

Semakin hari teknologi semakin berkembang pesat. Setelah blackberry, Android merajalela. Beruntung, aku tidak terlalu ketinggalan. Sebab aku sudah bisa menabung, aku bisa membeli gadget seperti orang-orang. Sekian lama ku gunakan gadget, ternyata aku merasa pilu, sedih. Setiap aku berkumpul dengan teman-temanku, gadget menjadi 'YANG KETIGA' di antara kami. Dia selalu hadir dan mengalihkan fokus obrolan kami. Saat nongkrong bareng, rapat, seminar, bahkan jam perkuliahan. Sungguh, 'DIA YANG KETIGA' kehadirannya sangat menganggu. Merusak momen berharga.

Ini semua adalah resiko dari kecanggihan teknologi. Perkembangan teknologi memang membantu kita untuk melakukan segala hal lebih mudah. Semua hal bisa dilakukan by digital. Informasi bisa kita akses kapanpun dan di manapun dengan cepat. Teknologi mendobrak batas ruang dan waktu setiap wilayah. Kita sudah tidak kenal dengan batas wilayah, orang yang berada nun jauh di sana tetap bisa berkomunikasi dengan kita di sini dalam waktu singkat. Bahkan bisa saling tatap muka walau berjauhan.

Kemudahan yang diciptakan manusia lewat kecanggihan teknologi mengakibatkan adanya ketergantungan. Inilah yang disebut dengan simbiosis antara manusia dan teknologi. Manusia menciptakan teknologi agar dapat melakukan segala hal lebih mudah dan teknologi membentuk perilaku manusia menjadi seperti sekarang. Sadar atau tidak, perilaku manusia saat ini dibentuk oleh perkembangan teknologi.

Inilah yang diramalkan oleh Marshall Mcluhan pada 1960an. Ia menjelaskan konsep The Global Village (Desa Besar). Dunia ini akan menjadi desa besar. Dunia ini digambarkan seperti sebuah desa kecil dan setiap orang yang tinggal di sana merasa dekat, dapat bertukar informasi secara cepat. Tidak ada lagi batas-batas wilayah negara. Semua bisa terkoneksi dengan mudah dan cepat layaknya di sebuah desa kecil. Kondisi ini berdampak bukan hanya pada pola komunikasi personal menjadi komunikasi massa, tapi juga perkembangan budaya. Dengan hilangnya batas-batas negara, setiap orang akan lebih mudah mempelajari budaya yang berbeda dan mengalami akulturasi budaya. Masyarakat Barat yang modern mempelajari budaya ketimuran dan begitupun sebaliknya. Begitu tak terbatasnya dunia kita hari ini.

Bukan hanya kemudahan yang kita dapatkan darinya tapi juga tantangan besar ada di hadapan kita. Dampak kecil yang berarti besar bagi kehidupan sosial kita adalah teknologi memberikan batas antara kita. Orang-orang selalu fokus dan asyik dengan 'DUNIA MAYA' nya sendiri tanpa melihat lingkungan sekitar. Interaksi dengan sesama menjadi berkurang. Kepedulian sebatas like dan story di akun media sosial yang berbuah viral.

Isu positif atau negatif mudah berkembang oleh adanya komunikasi massa yang masif. Tapi tantangan besarnya adalah dapatkah kita melawan dan mendobrak batas yang tercipta dari perilaku manusia akibat kecanggihan teknologi? Dapatkah kita hidup dalam kubangan teknologi yang berkembang pesat?

Technology connecting us, but absolutely make a distance between us.
Dunia kita tanpa batas, tapi hubungan kita terbatas oleh teknologi yang mendobrak batasan. Limitless but limited.


Jumat, 24 Mei 2019

GAK TEMENABLE. NAJIS!

'BAPER, LU!'

Kata-kata itu sekarang jadi senjata ampuh ketika seseorang berhasil menyinggung hati orang lain. Iya, seakan kita tidak boleh marah dengan sesuatu yang menyinggung hati kita. Kita diarahkan untuk berbohong, kita baik-baik saja padahal kita tersinggung. Tapi demi gengsi enggan disebut BAPER oleh orang, akhirnya berlagak perasaan hati biasa saja, bahkan bikin drama seakan suasana hati senang dan bahagia.

Di kehidupan sehari-hari, di rumah sama keluarga, di sekolah atau kampus sama temen, di kantor sama rekan kerja, kita sering kan nemu istilah BAPER?

'DIH, GITU AJA BAPER. NAJIS!'
'BAPERAN DAH LU. GA ASIK'

Trend jaman sekarang, kalo BAPERan itu GAK KEREN. Kalo BAPERan itu GAK TEMENABLE. 

"Ih, diamah BAPERan, jangan ditemenin"
Sesimple itu ya, gais.

Tapi ada hal positifnya sih. Aku jadi belajar untuk memahami metode sendiri buat komunikasi dengan orang lain. Iya, caranya menebalkan hati agar tidak mudah BAPER, menebalkan muka suapaya ga malu pas dikatain. Dengan begitu aku bisa jadi orang yang mengontrol telinga dan hati jikalau ada orang yang perkataanya menyinggung hati.

Beberapa kali, kuwa kuwi aku tersinggung sama perkataan orang di sekitarku alias BAPER. Aku sering denger orang asal bicara tentang apa yang melekat sama diriku, suara yang aneh, lidah yang susah banget berenti ngomong, volume suara yang susah banget dikecilin, perut yang kapasitasnya ga sesuai sama badanku, segala apapun itu. Masih untung begitu. Iya, masih ada untungnya dikatain, karena mereka ngomong di depan muka ku secara langsung, bukan di belakang.

Mungkin kalau ada yang kenal sama aku, udah pernah ketemu aku, udah pernah ngobrol bareng aku, pasti udah tau tipe suara ku kaya apa. Sebagian orang bilang serak-serak basah, serak-serak becek, serak-serak banjir, serak-serak ujan, kaya orang nangis, kaya laki-laki, ngebass, apalah itu bebas kalian mau sebut apa. Bahkan yang paling aneh dan bikin kuping geli menurutku adalah suaraku pernah disebut kaya Lucinta Luna. Bayangin, gais! Kalian tau kan Lucinta Luna suaranya kaya gimana? Terkesan aneh banget ga sih suaranya doi? (Berharap pas upload tulisan ini, doi ga marah-marah dan minta klarifikasi kaya doi nongol di youtubenya Dedi Corbuzier. Aku ga bisa bayangin, gais. Aku ga mau terkenal gara-gara konflik dan skandal ga jelas yang suka disetting)

Aku juga pernah beberapa kali disuruh diem, karena katanya berisik. Pernah disuruh pindah ruangan, karena ga nyaman seruangan bareng aku. Haha. 

Ada juga orang yang ga mau ketemu aku, katanya ga suka sama suara aku. Oke, fine. Aku mencoba berlapang dada dan menyempitkan lobang kuping. I'm fine. So far so good. Terus aja aku semangatin diriku sendiri.

Iya, sampe pada tahap itu. Aku bukan orang yang direkomendasikan untuk ditemui karena suaranya ga bagus. PROK PROK PROK, akumah mau tepuk tangan aja atas pencapaian suaraku. 

Nang, lu pernah ga sih nyesel punya suara kaya gitu?

'Nang, lu keren kok. Suara lu bagus ko. Suara lu bisa bermanfaat kok. Buktinya waktu SMA, lu bisa menangin lomba kategori MC terbaik buat PASKIBRA Sekolah lu!!!!' bayangin ada versi nang pake baju putih cantik banget ada sayapnya kaya peri, berdiri di pundak bagian kanan. Plis deh, halusinasi banget.....

Karena ga mungkin aku pertanyakan ini ke yang nyiptain.

'Yaa Allah, kenapa suaraku begini? Kenapa suaraku aneh?'

Kalo aku kaya gitu, aku kurang ajar dong.... bersyukur aja sih mendingan. Udah dikasih, nawar lagi. Hamba macam apa begituu...

Never. Aku ga akan pernah nyesel sama suara yang aku punya. Ini pemberian Allah, cuy. Bersyukur aku bisa ngomong, ngeluarin suara. Banyak orang yang ngomong aja harus pake bahasa isyarat, dan bagi ku penyesalan adalah tanda-tanda orang lemah. Sayangnya, aku begitu gengsi untuk mengatai diriku sebagai orang lemah. Sudah cukup orang-orang ngatain aku, ga perlu aku katain diriku sendiri. Cukup menyemangati dan mendukung diri sendiri. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang setia negdukung dan nyemangatin apapun yang kita lakuin?

Apapun tingkah laku kita, bagaimanapun pembawaan diri kita, orang akan terus ngatain. Mau tau kenapa? Karena manusia, khususnya yang lahir dan besar di tanah +62 mayoritas adalah orang yang senang memberikan judge pada orang lain. Tidak suka dijudge tapi hoby memberikan judge. 

Intinya aku cuma pengen bilang, jangan BAPERan, nanti ga punya temen. Kalau mau BAPER pilih-pilih tempat. Misal kalau di kerjaan atau organisasi, jangan BAPER. Soalnya bakal menghancurkan stabilitas team work. Lebih luaskan pemikiran dan lapangkan hati, perkecil lobang kuping biar ge terlalu bisa denger kalo ada yang ngatain.

Anggap aja becanda. Toh mungkin orang juga cuma becanda ngatainnya.
Hahahahaha


Tapi itu semua wajar kok. Justru kalo orang ga protes karena aku yang berisik dan ga bisa diem, itu aneh. Kupingnya berarti keren, atau setipe sama aku.
Kita punya hak kebebasan buat mengekspresikan apapun, tapi ada hak orang lain yang harus kita dukung. Orang lain berhak hidup nyaman dan tenang, jadi kita wajib menjaga keamanan dan ketertiban.

So, aku sekarang memilih untuk diam dan bicara seperlunya, bercanda, tertawa, dan curhat seperlunya. Mungkin ini yang terbaik. Bukan berarti aku BAPER. Tapi aku mencoba untuk menjaga kenyamanan orang-orang di sekitarku. Aku tidak mau membuat orang tidak nyaman.

Tapi, orang-orang heran pas aku diem. Pas aku ga seberisik kemarin.
'NANG, LU KENAPA? KO GA KAYA BIASANYA? DIEM DIEM AJA. BIASANYA BERISIK'
'IYA, NANG. AKU KANGEN NI SAMA BERISIKNYA KAMU'

Udah diem masih diomongin, katanya aku suruh diem. Udah diem malah ditanya-tanya kenapa. Malah minta aku berisik. Maunya orang-orang ini apa sih? Akumah heran. Yaudah atuhlah akumah salah wae.
TUH BAPER. GA SERU!
wkwkwkwk
aing ketawa sorangan :'D


Jadi, JANGAN BAPERAN, NANG! LU GA TEMENABLE BERARTI. NAJIS!





Suka sama tulisan ini? Like
Semoga manfaat.
Ga ada maksud apa-apa
Hanya ingin curhat dan berbagi metode komunikasi ala aku.

Makasi udah baca.