Jumat, 09 Agustus 2019

Limitless but Limited

Kenapa sih pake judul kaya gitu? Emang tulisan ini tentang apa?

Aku adalah salah satu orang yang rada susah memahami sebuah konsep atau teori kalau kebanyakan kata-kata akademisi atau ilmiah. Kosa kata aku tak sebanyak mereka yang punya kecerdasan retorika. Jadi aku gunakan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami diriku sendiri.

Jadi gini, berawal dari keresahan saat sedang berkumpul bersama kawan. Sedari dulu bahkan sejak aku SD, handphone adalah salah satu benda yang sudah mulai dimiliki anak-anak seumuranku saat itu. Kala itu aku hanyalah seorang anak biasa tanpa kecanggihan handphone. Aku selalu menjadi kambing conge ketika teman-temanku berbincang sambil bermain handphoe dan membicarakan fitur handphone. Mereka hapal sekali tipe, merk, sampai perbedaan setiap hp. Aku hanya bisa melihat dan mendengar tanpa mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku merasa berjarak dengan mereka.

Singkat cerita seiring perkembangan zaman dan teknologi, aku masih menjadi anak tanpa kecanggihan gadget. Pada masa SMA blackberry mulai merambah ke kantong seragam teman-temanku. Aku bahkan baru memiliki hp saat aku kelas 2 SMA. Itupun hp buatan China yang orang suka sekali bully produk China. Sama halnya ketika SD, aku hanya kambing conge di antara teman-temanku membicarakan obrolan mereka di bbm. Teman-temanku saat itu tidak lagi bertukar nomor hp tapi pin BB. Apalagi ini? Ketika aku sms mereka tidak bisa balas karena tidak ada pulsa, adanya paket bbm. Aku merasa berjarak dengan mereka.

Semakin hari teknologi semakin berkembang pesat. Setelah blackberry, Android merajalela. Beruntung, aku tidak terlalu ketinggalan. Sebab aku sudah bisa menabung, aku bisa membeli gadget seperti orang-orang. Sekian lama ku gunakan gadget, ternyata aku merasa pilu, sedih. Setiap aku berkumpul dengan teman-temanku, gadget menjadi 'YANG KETIGA' di antara kami. Dia selalu hadir dan mengalihkan fokus obrolan kami. Saat nongkrong bareng, rapat, seminar, bahkan jam perkuliahan. Sungguh, 'DIA YANG KETIGA' kehadirannya sangat menganggu. Merusak momen berharga.

Ini semua adalah resiko dari kecanggihan teknologi. Perkembangan teknologi memang membantu kita untuk melakukan segala hal lebih mudah. Semua hal bisa dilakukan by digital. Informasi bisa kita akses kapanpun dan di manapun dengan cepat. Teknologi mendobrak batas ruang dan waktu setiap wilayah. Kita sudah tidak kenal dengan batas wilayah, orang yang berada nun jauh di sana tetap bisa berkomunikasi dengan kita di sini dalam waktu singkat. Bahkan bisa saling tatap muka walau berjauhan.

Kemudahan yang diciptakan manusia lewat kecanggihan teknologi mengakibatkan adanya ketergantungan. Inilah yang disebut dengan simbiosis antara manusia dan teknologi. Manusia menciptakan teknologi agar dapat melakukan segala hal lebih mudah dan teknologi membentuk perilaku manusia menjadi seperti sekarang. Sadar atau tidak, perilaku manusia saat ini dibentuk oleh perkembangan teknologi.

Inilah yang diramalkan oleh Marshall Mcluhan pada 1960an. Ia menjelaskan konsep The Global Village (Desa Besar). Dunia ini akan menjadi desa besar. Dunia ini digambarkan seperti sebuah desa kecil dan setiap orang yang tinggal di sana merasa dekat, dapat bertukar informasi secara cepat. Tidak ada lagi batas-batas wilayah negara. Semua bisa terkoneksi dengan mudah dan cepat layaknya di sebuah desa kecil. Kondisi ini berdampak bukan hanya pada pola komunikasi personal menjadi komunikasi massa, tapi juga perkembangan budaya. Dengan hilangnya batas-batas negara, setiap orang akan lebih mudah mempelajari budaya yang berbeda dan mengalami akulturasi budaya. Masyarakat Barat yang modern mempelajari budaya ketimuran dan begitupun sebaliknya. Begitu tak terbatasnya dunia kita hari ini.

Bukan hanya kemudahan yang kita dapatkan darinya tapi juga tantangan besar ada di hadapan kita. Dampak kecil yang berarti besar bagi kehidupan sosial kita adalah teknologi memberikan batas antara kita. Orang-orang selalu fokus dan asyik dengan 'DUNIA MAYA' nya sendiri tanpa melihat lingkungan sekitar. Interaksi dengan sesama menjadi berkurang. Kepedulian sebatas like dan story di akun media sosial yang berbuah viral.

Isu positif atau negatif mudah berkembang oleh adanya komunikasi massa yang masif. Tapi tantangan besarnya adalah dapatkah kita melawan dan mendobrak batas yang tercipta dari perilaku manusia akibat kecanggihan teknologi? Dapatkah kita hidup dalam kubangan teknologi yang berkembang pesat?

Technology connecting us, but absolutely make a distance between us.
Dunia kita tanpa batas, tapi hubungan kita terbatas oleh teknologi yang mendobrak batasan. Limitless but limited.