Habis gelap terbitlah terang, begitu judul buku yang
menceritakan kisah seorang pahlawan perempuan pada masa kolonialisme, Raden
Ajeng Kartini. Kini, langit Desa Silih Asih juga sedang merasakan terang
setelah gelap menghalangi pandangannya terhadap bumi dan seluruh isinya
beberapa bulan lamanya. Ya, bumi kala itu diselimuti awan kelabu yang membawa
titik hujan untuk tanah di bumi. Berbulan-bulan awan putih hingga kelabu
kehitaman mendominasi panggung alam semesta kala itu. Jika sudah tidak kuat
menahan beban titik-titik air, awan itu akan menyirami bumi dengan lebat dan
derasnya. Tak jarang ia membawa serta guntur dan angin.
Langit
biru hari itu enggan diganggu awan walau sekedar untuk saling sapa. Awan tahu
diri, ia pergi bersama angin menuju barat, menuju bagian langit lain yang mau
menerima kehadirannya yang membawa kabar rintik hujan. Kini langit hanya ingin
bersahabat dengan matahari. Langit sedang bahagia sebab manusia di bumi sangat
senang akan persahabatan langit dan matahari. Dengan bersahabat dengan
matahari, padi di sawah Pak Udin menguning dan mulai membungkuk yang artinya
panen segera tiba, ikan asin Pak Asep menggaring dan bisa segera dijual, baju
yang dijemur Bu Ani cepat mengering, bukan hanya itu es nong-nong Mang Bewok
laris manis diserbu anak-anak SD saat jam istirahat tiba.
“Bu,
kenapa langit senang melihat manusia?” Amna mulai mengekspresikan rasa ingin tahunya
yang tinggi.
“Karena
manusia senang, langit pun ikut senang. Langit yang berwarna biru bisa ikut
mewarnai hari-hari manusia, bukan hanya hijaunya tumbuhan dan warna-warni bunga.”
Amna menyimak jawaban Ibu dengan seksama. Sejak balita, Amna
sudah biasa mendengarkan dongeng karangan Ibunya. Ibunya memang pintar sekali
merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi kisah yang disusun rapi dan
asik untuk didengar. Bahkan saat Amna masih dalam kandungan, Ibu tidak bosan
membaca buku dan menulis kisah untuk diceritakan pada anak gadisnya kelak
setiap menjelang tidur.
Seperti saat ini, Amna berbaring di kasur mungilnya
sambil memeluk boneka lumba-lumba berwarna abu tua kesayangannya. Sedangkan ibunya
duduk di samping kanan Amna sambil mengelus rambut ikalnya yang berwarna
kecokelatan, mirip sekali dengan ayahnya. Genap 8 tahun sudah Amna mendengar
berbagai judul kisah dari Ibunya. Namun kisah kali ini belum pernah ia dengar
sebelumnya. Sebab malam ini adalah hari ulang tahun Amna, jadi cerita yang Ibu
perdengarkan tentu cerita yang belum pernah Amna dengar sebelumnya.
Setiap
Amna ulang tahun, Ibunya memberikan satu cerita baru. Entah sudah berapa cerita
yang sama yang sudah Amna dengar dari Ibunya, hingga ia hafal alur dan kata
demi kata dari cerita itu. Namun ia tidak pernah bosan mendengar cerita ibunya.
Setiap malam selalu ada pertanyaan dari Amna tentang tokoh atau alur dalam
cerita. Kali ini ia sangat antusias mendengar cerita baru dari ibunya, ia berharap
kantuk tidak segera datang sebab hari ini adalah hari yang ditunggunya. Bukan
karena ini adalah hari ulang tahunnya, tapi karena hari ini ia akan mendengar
cerita baru dari ibunya.
“Oh begitu. Oke lanjutkan, bu”
“hmm
sudah jam 9 lewat 15, memangnya Amna belum ngantuk?”
“Beluuuum!!!
Amna belum ngantuk. Ayo lanjutkan, Bu”
“Oke
kalau begitu” Kemudian Ibu melanjutkan ceritanya.
Semua manusia merasa senang bisa hidup di bawah langit
yang cerah. Langit berpikir ini semua berkat matahari yang menjadikannya
sahabat karib. Belum lagi setiap malam, setelah matahari pergi ke peraduan, si
cantik rembulan beserta rombongan bintang membuat langit semakin indah
dipandang. Bangganya langit saat itu, matahari, bulan, dan bintang berada di
pihaknya. Biarlah awan diajak angin ke tempat lain, ke atas pengunungan, ke
atas lautan, ke atas gurun pasir, atau ke manapun asal jangan ke tempat ini,
desa yang sangat disayanginya.
Setiap
hari langit selalu menunjukkan birunya, semakin membiru dikala ia melihat rombongan
anak SD berjalan menuju sekolahnya melewAni perkebunan ketimun Pak Atang yang
mulai berbunga pohonnya, tanda tak lama lagi akan tumbuh ketimun yang segar.
Belum lagi ketika melihat burung-burung berkeliaran mencari makan di persawahan
Pak Udin. Langit terhibur bukan main melihat mereka terbang terbirit-birit karena
kaget bertemu dengan boneka sawah buatan Hendra, anak Pak Udin yang masih 12
tahun.
Ibu
bercerita dengan kalimat yang rapi dan sangat detail. Ia ingin Amna bisa memiliki
imajinasi sendiri dan membayangkan apa yang ia ceritakan. Kalau Steve Allen
mengatakan bahwa radio adalah teater pikiran, maka ia ingin saat ia mulai
bercerita kata demi kata, kalimat demi kalimat dan menjadi sebuah narasi kisah,
Amna dapat menciptakan teaternya sendiri di dalam pikirannya.
Belum
lagi sempat mengambil nafas untuk kalimat selanjutnya, Amna sudah melontarkan pertanyaan
kembali, “Bu, kenapa langit sayang sama desa itu? Memangnya selain ada Pak
Udin, Hendra, anak-anak SD yang pergi sekolah, Bu Ani, Pak Atang, di sana ada
apa lagi?” Amna selalu punya pertanyaan
“Jawabannya
ada di akhir cerita. Supaya seru, kamu tidur sekarang ya. Besok Ibu janji akan lanjutkan
ceritanya spesial buat Amna”
“Yaah. Amna penasaran, Bu”
“Tapi ini sudah malam, kamu besok kan harus sekolah”
“Yasudah. Amna tidur”
“Oke
tuan puteri. Sekarang tidur, jangan lupa berdoa pada Allah, supaya Amna besok
gak kesiangan solat subuh”
“Bismillaahirrahmaanirrahiim…….”
Malam itu langit tak ubahnya dalam cerita Ibu pada Amna, biru
khas langit malam ditemani bintang yang entah berapa jumlahnya. Ibu tersenyum
melihat langit begitu indah malam itu lewat jendela kamar Amna saat hendak
menutup jendela. Si cantik rembulan tak ketinggalan, rupayan ia sudah bersolek
bak puteri sejagat semalam. Angin malam berhembus masuk hingga mengibaskan
rambut Ibu. Jendela ditutup, Amna sudah mulai mencoba memejamkan mata walau
dalam hAni dan pikirannya masih ada rasa penasaran yang teramat akan kelanjutan
cerita dari Ibunya.
***
Malam
ini tanpa Amna meminta, Ibu sudah siap menceritakan kelanjutan kisah Langit
yang sayang pada desa Silih Asih. Seperti biasa, Ibu duduk di samping kanan Amna
sambil mengelus rambut ikalnya. Namun yang berbeda kali ini, Amna tidak memeluk
boneka lumba-lumba kesayangannya, melainkan memeluk bantal embe berwarna ungu
dari ayahnya yang sangat empuk dan tidak kalah disayang dari boneka lumba-lumba.
Sampai
suatu saat, matahari semakin mengeluarkan panasnya. Manusia merasakan panas
yang luar biasa. Tanah mulai mengeras, air sumur mulai tak terlihat, dedaunan
menguning kecokelatan, sawah Pak Udin mulai pecah-pecah bak bibir yang sedang
panas dalam, ketimun Pak Atang juga gagal tumbuh besar sebab terlanjur
menguning akibat panasnya matahari dan tak ada air untuk fotosintesis, orang-orang
di desa itu mulai mencari mata air di tempat lain untuk masak, mandi, maupun buang
air.
Orang-orang
di desa itu tidak patah semangat, tidak mengeluh, apalagi menyerah. Mereka sangat
kuat dan semangat untuk mencari air. Setiap orang saling membantu dan
bekerjasama. Setelah sekumpulan bapak-bapak berpencar mencari sumber mata air
di atas bukit dan berhasil menemukannya, Ibu-ibu mulai mengumpulkan ember, tali,
dan bamboo untuk mengangkut air dari bukit ke desa. Tidak ada yang berebut air.
Semua tertib mengambil air sesuai kebutuhan. Tidak serakah, sebab semua orang
membutuhkan air saat itu.
Langit
mulai merasa sedih, persahabatannya dengan matahari mengundang kemarau yang panjang.
Berbeda dengan kemarau tahun-tahun sebelumnya. Rasanya kemarau kali itu sangat sulit,
paceklik. Setiap hari rasanya haus juga kering kerontang. Warga desa Silih Asih
mulai mencari sumber mata air ke atas bukit Bentang yang letaknya di sebelah Selatan
berjarak 10km dari desa. Semua warga bergantian mengambil air ke sana. Tidak banyak
yang mereka ambil. Sedikit-sedikit asal mencukupi kebutuhan minum dan masak. Biarlah
mandi dua atau tiga hari sekali, yang penting bisa minum dan masak. Setiap hari
mereka naik turun bukit untuk mendapatkan air. Tak kenal lelah, sebab tak ada lagi
pilihan bagi mereka untuk menyerah. Jika menyerah, anak-anaknya akan merintih kehausan.
“Ya
ampun. Terus gimana nasib mereka semua, bu?”
Mereka
semua pasrah dengan kondisi yang mereka hadapi. Pak Udin maupun Pak Atang yang
gagal panen sudah pasrah akan merugi. Langit mulai ikut bersedih, ia tak tega
menyaksikan anak-anak SD yang kelelahan dan berpeluh keringat saat melewAni
kebun Pak Atang menuju sekolah. Kini tak ada lagi manusia yang sanggup melihat
birunya langit yang indah dengan mata telanjang karena silau akan sinar
matahari yang semakin menyengat. Langit mulai mencari siasat, bagaimana caranya
agar desa kesayangannya bisa mendapatkan air. Lalu ia ingat akan awan. Dulu memang
setiap awan datang di tengah langit dan bumi, ia kesal karena tidak bisa
menyaksikan manusia yang ada di desa Silih Asih. Namun ia juga sadar, kehadiran
awan sangat dibutuhkan untuk desa itu. Awan bisa menurunkan hujan untuk desa
itu. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa menunggu awan datang ke
atas desa itu.
“Lalu
ke mana perginya awan, bu?” ibu tak menjawab pertanyaan Amna, ia langsung melanjutkan
ceritanya yang sekaligus menjawab pertanyaan gadis berambut ikal itu.
Kini
matahari sedang bekerjasama dengan laut. Matahari memberikan panasnya ke bumi
termasuk laut. Saat laut kepanasan, air laut menguap dan membentuk titik-titik uap
air di udara. Terciptalah awan yang akan menyiram seisi bumi dengan air. Semakin banyak titik-titik uap yang berkumpul,
semakin banyak pula air yang terkandung di awan, dan karena itu semakin gelap
pula warna awan.
Tidak
sampai di situ, bukan hanya matahari dan laut yang bekerjasama, tapi angin juga
ikut membantu. Ia membawa awan pergi ke berbagai tempat. Saat awan mulai tidak
kuat menahan beban titik air, awan akan menjatuhkan semua air ke permukaan
bumi. Hujan, namanya. Hujan akan turun di semua tempat yang ia datangi. Sawah
Pak Udin, kebun Pak Atang, rumah Bu Ani, rumah Pak Asep, pokoknya semuanya.
Hujan tidak pernah pilih-pilih tempat mana yang akan ia basahi. Tidak pandang
bulu. Semuanya kebagian.
“Tidak
pandang bulu itu apa, bu?”
“Artinya,
tidak pilih-pilih. Tidak membeda-bedakan. Semuanya sama. Sama-sama kebagian air
hujan. Begitulah sifat hujan”
“Oh
gitu… terus hujannya turun di desa itu gak, bu?”
Ternyata
desa Silih Asih menjadi salah satu tempat tujuan angin membawa awan. Sore itu di
desa Silih Asih, tanah kering kerontang mulai basah hingga menembus beberapa
centimeter dalamnya. Air mulai menggenang di sawah Pak Udin, tetesan hujan juga
mampir di pohon ketimun Pak Atang yang gagal berbuah, sumur-sumur mulai terisi
setetes demi setetes sambil menunggu aliran air resapan dari dalam tanah. Anak-anak
SD mandi hujan sambil berlarian, Ibu Ani dan ibu-ibu lainnya tersenyum
sumringah karena tidak akan kesulitan mencari air untuk masak. Semua orang di
desa bersorak-sorai menyambut datangnya hujan sambil mengucap syukur pada Yang
Maha Kuasa, “Alhamdulillaah! Alhamdulillaah!! Hujaan!” tak henti-hentinya
mereka bersyukur pada Allah, karena Dia telah menjadikan langit, matahari,
bumi, laut, dan juga angin bekerjasama untuk memberikan kenikmatan kepada
manusia dan seluruh alam.
“Seluruh
alam?”
“Iya,
seluruh alam. Ingat kan tadi ibu bilang apa? Hujan tidak pandang bulu. Hujan bukan
hanya nikmat bagi manusia, tapi hewan, tumbuhan, dan semua yang ada di bumi ini.”
“Iya
juga ya, hujan itu nikmat. Kalau gak ada hujan, tanah kering, sawah kering,
semua orang kehausan, kepanasan, gak bisa mandi juga. Kan gak enak ya, bu”
“Tentu,
bukan cuma hujan, panas matahari juga nikmat. Kalau tidak ada matahari, nanti
air laut gak bisa menguap, gak akan ada awan, ga akan ada hujan. Semua itu
adalah cinta kasih Allah kepada seluruh ciptaanNya di bumi. Arrohman, artinya
maha pengasih, salah satu dari 99 nama yang sangat indah, Asma’ul Husna”
“Wah,
keren, bu. Terus pertanyaanku yang kemarin jawabannya apa?”
“Tentang
kenapa langit sayang sama desa Silih Asih?”
“Iya
itu, bu”
“Langit
sayang sama desa itu karena orang-orang di sana saling menyayangi. Ketika keadaan
sulit, mereka saling membantu, tidak berebut air, tidak serakah. Sama seperti
apa yang diperintahkan Allah. Setiap manusia harus saling membantu dalam
kesulitan. Orang yang mampu dan kuat membantu orang yang lemah. Makanya desa
itu dinamakan desa Silih Asih, artinya saling mengasihi”
“Terimakasih, bu. Ceritanya baguuuuuss banget.
Amna sukaaaa banget”
“Sama-sama,
sayang. Sekarang kamu tidur ya. Sudah setengah sepuluh. Untung besok hari libur.
Jangan lupa berdoa ya” ibu mencium kening Amna dan bergegas menuju jendela,
sementara Amna berdoa untuk segera memejamkan mata. Kantuk sudah mulai membuat kelopak
matanya berat. Dalam hitungan menit, ia sudah tidur dengan pulas.
Ibu
memandang langit cerah malam itu, rembulan tidak lagi bulat sempurna seperti malam
kemarin. Namun cantiknya tak pernah pudar. Sejak dulu ia selalu suka memandang
bulan dari jendela kamarnya. Setiap ia melihat bulan, ia teringat sosok ayahnya
yang sangat menggemari astronomi walaupun tidak punya pendidikan tinggi. Namun ayahnya
selalu gemar membaca buku ensiklopedia tentang astronomi. Ia hapal betul tentang
rasi bintang, gerhana bulan dan matahari, dan masih banyak lagi yang diketahui
ayahnya.
Ayahnya
juga sering menceritakan kisah, salah satunya kisah tentang astronot yang berhasil menginjakan kakinya di
bulan, Neil Armstrong namanya. Kecintaan ayahnya pada dunia astronomi menjadi
alasan ia memberikan nama pada anaknya. Luna, adalah nama Ibunya Amna yang
berarti bulan. Karena itulah ia senang melihat bulan, ia seakan melihat dirinya sendiri dan ayahnya yang sudah lama pergi untuk selamanya. Dulu setiap malam, selain kisah Neil Armstrong, ayahnya selalu bercerita tentang bintang, bulan, matahari, planet, dan seisi bumi.
Luna senang bisa mendapatkan cerita dari ayahnya walaupun ia
tidak yakin bahwa ada manusia yang berhasil menginjakkan kaki ke bulan. Namun kebiasaan
bercerita yang ditularkan ayahnya, ia tularkan pada Amna, anaknya. Kelak ia ingin
Amna menjadi anak yang cerdas.
Kini,
Luna bersiap menyusun cerita-cerita menarik berikutnya untuk anak tercinta,
Amna.
***