Sabtu, 10 Juni 2017

DIASPORA SEBAGAI DAKWAH MAHASISWA MUHAMMADIYAH

_Breaking News_

Sabtu, 10 Juni 2017. Ketua Umum IMM Kom. FISIP, Moh. Rofiie menyatakan ketegasannya dalam pencalonan ketua dan wakil ketua BEM FISIP UMJ, bahwa IMM mendiasporakan kadernya tidak lain tidak bukan tujuannya untuk mendakwahkan nilai-nilai Muhammadiyah. IMM FISIP UMJ tidak haus jabatan seperti yang diisukan oleh banyak orang, melainkan ingin menjalankan kewajibannya untuk mendakwahkan nilai-nilai Muhammadiyah. IMMawan Rofiie juga mengajak seluruh Kader IMM untuk turut serta mendorong dan mendukung setiap kader yang didiasporakan ke lembaga kampus. Dalam usaha berdakwah di lingkungan FISIP UMJ, IMM akan tegas dalam mengkualifikasikan standar untuk me diasporakan kadernya ke lembaga kampus. Jadi, kader yang didiasporakan tidak sembarangan. Kita sebagai kader IMM memiliki trilogi yang harus diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, setiap usaha yang dilakukan termasuk mendiasporakan kader harus diusahakan dan didukung oleh seluruh kadernya. (dm.) SEBAGAI DAKWAH MAHASISWA MUHAMMADIYAH
Sabtu, 10 Juni 2017. Ketua Umum IMM Kom. FISIP, Moh. Rofiie menyatakan ketegasannya dalam pencalonan ketua dan wakil ketua BEM FISIP UMJ, bahwa IMM mendiasporakan kadernya tidak lain tidak bukan tujuannya untuk mendakwahkan nilai-nilai Muhammadiyah. IMM FISIP UMJ tidak haus jabatan seperti yang diisukan oleh banyak orang, melainkan ingin menjalankan kewajibannya untuk mendakwahkan nilai-nilai Muhammadiyah. IMMawan Rofiie juga mengajak seluruh Kader IMM untuk turut serta mendorong dan mendukung setiap kader yang didiasporakan ke lembaga kampus. Dalam usaha berdakwah di lingkungan FISIP UMJ, IMM akan tegas dalam mengkualifikasikan standar untuk me diasporakan kadernya ke lembaga kampus. Jadi, kader yang didiasporakan tidak sembarangan. Kita sebagai kader IMM memiliki trilogi yang harus diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, setiap usaha yang dilakukan termasuk mendiasporakan kader harus diusahakan dan didukung oleh seluruh kadernya. (dm.)

Rabu, 07 Juni 2017

Indonesia negeri Liberal

Indonesia, negara dengan kekayaan yang melimpah. Kekayaan Indonesia meliputi pertambangan, perikanan, kelautan, perkebunan, pertanina, dan lain-lain. Berdasarkan UU pasal 33 yang menjelaskan bahwa perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi seluruh rakyat. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hidup orang banyak harus didikuasai oleh negara. bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Artinya, kekayaan alam yang dimiliki negara Indonesia harus dikelola oleh negara dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak sebagi kesatuan antara unsur rakyat, wilayah, dan pemerintah. Negara memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur tata guna atau hubungan hukum yang me nyangkut hal tersebut. Para pemimpin Indonesia yang menyusun Undang Undang Dasar 1945 mempunyai kepercayaan, bahwa cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 Dari sabang sampai merauke, potensi kekayaan alam yang dimiliki negara Indonesia sangatlah banyak. Namun, percayalah bahwa kemiskinan masyarakat di kawasan yang SDAnya dieksploitasi sangat memprihatinkan. Ini bukan hanya sekedar gossip atau isu belaka, ini fakta. Banyak daerah yang lahannya dieksploitasi untuk meningkatkan perekonomian negara malah menjadi boomerang bagi masyarakat setempat. Salah satu contoh kasus eksploitasi alam adalah sengketa petani di Teluk Jambe, Karawang dengan perusahaan properti PT Pertiwi Lestari. Petani di Telukjambe terusir dari lahannya, sebab PT Pertiwi Lestari telah mendapatkan sertifikasi lahan dari Kemeterian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sehingga lahannya digunakan oleh perusahaan tersebut dan meratakan semua bangunan yang merupakan rumah dari para petani. Jumlah petani kurang lebih 200 orang yang diungsikan ke rusun karena tidak memiliki tempat tinggal. Sampai saat ini, kasus ini masih dalam proses penyelesaian. Kasus senengketa lahan Telukjambe adalah salah satunya. Masih banyak potret kemiskinan, ketidakmampuan rakyat menghadapi para kaum kapitalis yang dapat melakukan apa saja.  
Menurut data di naskah akademis RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara amanat yang terkandung dalam pasal 33 belum terimplementasikan dengan baik. Alasannya, satu, terdapat banyak peraturan perundang-undangan (perpu) yang mengatur tentang pengelolaan kekayaan negara. Perpu yang sudah ada belum komprehensif dan terpadu antara satu dengan yang lainnya, sehingga belum bisa untuk mencapai tujuan dari UU pasal 33. Dua, belum ada sistem pengelolaan yang komprehensif. Salah satu kelemahan pemerintah dalam pengelolaan kekayaan negara adalah inventarisasi kekayaan negara. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak memiliki database kekayaan negara secara menyeluruh sehingga banyak potensi kekayaan negara yang tidak teridentifikasi dan belum optimal untuk kemakmuran rakyat. Tiga, pengelolaan kekayaan negara belum proporsional. Ada 3 faktor yang diperlukan untuk pengelolaan kekayaan negara yang proporsional, yaitu: (1) factor ekonomi; (2) factor sosial; (3) factor ekologi. Saat ini pengelolaan kekayaan negara masih mengedepankan factor ekonomi. Jadi, pengelolaan kekayaan negara ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi. Namun hal ini tanpa mengikutsertakan dua factor lainnya (sosial dan ekologi), sehingga masih banyak rakyat Indonesia yang miskin walaupun negaranya kaya. Selain itu kelestarian alam belum juga menjadi konsen dalam pengelolaan kekayaan alam, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya manusia di Indonesia yang kurang berkualitas menyebabkan tidak terjaminnya permasalahan ekologi dapat terintegrasi dalam pengelolaan kekayaan negara. Empat, belum ada pembagian kewenangan yang jelas dalam pengelolaan kekayaan negara baik antar sector maupun antara pemerintah daerah dan pusat. Akibatnya, timbul potensi konflik diantara pihak-pihak terkait yang disebabkan oleh banyaknya peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan pengelolaan kekayaan negara yang belum diduking dengan harmonisasi dan koordinasi yang baik.
Disamping kondisi pengelolaan kekayaan negara di atas, pemerintah dan rakyat Indonesia tentunya sangat mengharapkan kondisi ideal dalam mengelola kekayaan negara. sesuai dengan UU pasal 33 yang telah sering dibahas, bahwa kekayaan negara seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaan kekayaan negara yang ideal sesuai dengan UUD pasal 33 ini adalah, satu, untuk mewujudkan amanat yang terkandung di dalam pasal tersebut, dibutuhkan good governance sebagai landasan yang mengacu kepada asas-asas yang meliputi asas keadilan, transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas, manfaat, peningkatan nilai tambah, kesejahteraan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan kemandirian. Dua, dibutuhkan peraturan perundang-undangan pengelolaan kekayaan yang komprehensif dan harmonis satu dengan yang lainnya. Selain itu, system pengelolaan kekayaan negara yang solid, sumber daya manusia yang berintegritas sangat dibutuhkan. Tiga, pengelolaan kekayaan negara perlu dilakukan secara proporsional dengan memberikan perhatian ke semua factor, baik factor ekonomi, sosial, dan ekologi tanpa berat sebelah. Hal ini akan mendukung terbangunnya system pengelolaan kekayaan negara yang ideal dan berkesinambungan untuk generasi yang akan mendatang. Empat, adanya pengaturan lingkup kekayaan negara sesuai dengan UUD pasal 33 dan pasal 23 (yang secara keseluruhan diarahkan pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat).
Amanat yang sudah terkandung di dalam UU 1945 seharusnya dapat diimplementasikan mengingat UUD 1945 pasal 33 adalah pasal yang membahas tentang kemaslahatan rakyat. Sudah sejak lama Indonesia dikuasai oleh asing, Freepot contohnya. Perusahaan asing yang tidak dikuasai negara membuat rakyat semakin terbelenggu dalam kemiskinan. Perpanjangan kontrak yang selalu dilakukan semakin menimbulkan kerugian negara dan rakyat. Satu pertanyaan yang selalu muncul adalah ‘Kenapa pemerintah tidak memiliki taring dalam penegakan hukum mengenai kekayaan negara, khususnya kekayaan alam?’. Indonesia dikuasai para kapitalis asing yang semakin mengancam kemampuan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Negeri ini demokrasi, negeri ini neo-liberal, itu artinya, Indonesia liberal.
Sampai saat ini, DPD sebagai lembaga legislative tengah menyusun RUU tentang pengelolaan kekayaan negara yang nantinya akan mengatur pengelolaan kekayaan negara baik yang dikuasai maupun yang dimiliki. Langkah DPD untuk mengajukan RUU ini sudah lebih dari 10 tahun, namun sampai saat ini RUU tersebut belum juga diterima oleh DPR untuk kemudian dibahas dan disahkan. RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara terus disempurnakan agar dapat disahkan sebagai UU. Kita sebagai rakyat dapat terus menuntut pemerintah untuk segera memproses hal ini yang dapat disebut sebagai ‘MASALAH’ kesejahteraan rakyat. Pemerintah seharusnya menjadi tokoh yang berpihak pada rakyat. Sebab, pada dasarnya mereka adalah rakyat yang diberikan amanah oleh rakyat untuk mengabdi kepada rakyat.

Referensi:
Naskah akademis Ranangan Undang Undang tentang Pengelolaan Kekayaan Negara tahun 2005.
http://kbr.id

Sabtu, 03 Juni 2017

Gender lagi, gender lagi


Saya bingung. Kenapa isu murahan soal gender masih dibahas? Masih mau memperdebatkan kepemimpinan perempuan? 
Isu soal perempuan menjadi pemimpin (politik) selalu menjadi kontroversi. Bagi yang masih debat soal ini, lebih baik banyak-banyak membaca literatur soal kepemimpinan. Perhatikan dan pahami dengan baik, silahkan banyak baca dan pelajari soal kepemimpinan (politik) perempuan.

Sudah tahukah anda tentang Siti Aisyah yang menjadi pemimpin? Sudah tahukah anda Kerajaan Shaba yang sejahtera bukan main dipimpin oleh seorang Ratu bernama Bilqis? Bahkan Indonesia yang katanya demokrasi masih seumur jagung, pernah memiliki presiden seorang perempuan. Amerika Serikat yang demokrasinya sudah dewasa dan matang saja belum pernah memiliki presiden seorang perempuan. Sudah tahukah anda?

Jika masih meragukan perempuan untuk menjadi pemimpin (politik), berarti harus lebih banyak membaca sejarah kepemimpinan (politik) perempuan. Tangerang Selatan saja dipimpin oleh seorang perempuan, bahkan memenangkan PILKADA untuk kedua kali.
Sekali lagi, menjadi pemimpin politik berbeda urusannya dengan pemimpin keluarga. Persoalan laki-laki adalah pemimpin perempuan itu berlaku di tataran keluarga. 
Jika hanya sekedar wali kota, ketua organisasi, sah saja. Toh pemilihan yang dilakukan menggunakan asas demokrasi, bebas untuk memilih dan dipilih. Kalau soal gender saja masih dibahas, dimana demokrasinya? Jangan-jangan belum lulus matakuliah Pengantar Ilmu Politik ya? 
Sudahlah, isu murahan seperti ini sudah bukan zamannya. 

Tulisan seorang mahasiswI biasa,
Cirendeu, 3 Juni 2017