Rabu, 12 Juli 2017

Bedanya Musyawarah dengan Voting

Indonesia merupakan negara dengan usia demokrasi yang masih sangat muda. Bahkan diusianya yang tergolong muda, keberanian Indonesia untuk melakukan pemilihan langsung sangat patut diacungi jempol. Kenapa? Sebab Indonesia adalah negara luas, negara kepulauan. Bayangkan pemilihan langsung secara serentak dilakukan di seluruh provinsi yang saat ini sudah mencapai 34 provinsi. Kondisi negara Indonesia dengan berbagai kebudayaan juga menjadi salah satu kendala dalam pemilihan umum. Contohnya, beberapa daerah di Papua yang masyarakatnya cenderung masih menggunakan system sosial adat Papua yang masih tradisional. Kepala suku menentukan siapa pemimpin yang akan dipilih, maka jangan heran ketika terdapat kasus surat suara dicoblos dengan cara surat suara ditumpuk kmudian dicoblos pada gambar calon yang sama. Bukan sebuah kecurangan, namun ini adalah aturan bahwa masyarakat suku memberikan kewenangannya untuk memilih kepada kepala suku. Beberapa hal tersebut merupakan kekurangan dalam teknis pemilihan. Namun yang paling peting adalah konsep voting dengan one man one vote yang ditawarkan demokrasi menjadi salah satu hal yang dinilai kurang baik untuk memilih pemimpin maupun mengambil sebuah keputusan. Setiap orang, siapapun orangnya, apapun profesi, pekerjaan, dan pendidikannya, yang telah memenuhi syarat untuk memilih sama-sama memiliki satu suara. Antara suara orang tidak berpendidikan dan professor, juga suara preman dan ustadz disamakan, tidak ada bedanya. Banyak orang bilang demokrasi adalah system terbaik. System dengan pemerintahan rakyat dianggap baik dan bagus diterapkan. Tapi, apakah benar demokrasi adalah
system terbaik?

Jika kita melihat kembali ke zaman pada masa Rasulullah memimpin Madinah, jauh sebelum Indonesia terlahir menjadi sebuah negara yang berdaulat. Islam telah lebih dulu
menjalankan sebuah roda pemerintahan. Sebutlah masa kekhalifahan mulai dari Rasulullah, Abu Bakar Asshiddiq, hingga Ali bin Abi Thalib. Pada masa itulah, roda pemerintahan dijalankan sesuai dengan ajaran Allah (Al Quran) dan Rasul (Hadits). Memang Indonesia bukanlah negara islam, tapi tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran dari para ulama terdahulu.

Rasulullah tidak mengenal teori trias politica yang membagi kekuasaan antara eksekutif, legislative, dan yudikatif. Namun Rasulullah telah menciptakan dan menjalankan sebuah system pemerintahan yang sangat baik. Pemerintahan pada masa khalifah juga tidak mengenal one man one vote layaknya dalam demokrasi. Islam mengajarkan untuk bermusyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk untuk memilih seorang pemimpin. Kita dapat mengartikan
musyawarah dari asal kata syawaroh (bahasa Arab) yang artinya memeras madu. Dalam kegiatan memeras madu, akan diambil madu paling bagus, bersih, dan murni yang sudah terpisah dari sarangnya. Begitupula dengan musyawarah, mencari solusi yang paling baik dan tepat, dan yang
terpenting bukan hasil suara terbanyak. Keputusan yang dihasilkan dari suara terbanyak belum tentu keputusan terbaik.

Proses memilih pemimpin pada masa itu menggunakan musyawarah sebagai cara yang wajib digunakan. Satu hari setelah nabi wafat, tokoh masyarakat dari dua suku besar yakni Muhajirin dan Anshar melakukan pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah untuk bermusyawarah memilih pemimpin menggantikan Rasulullah. Pada forum musyawarah tersebut, terpilihlah Abu
Bakar sebagai khalifah. Abu bakar terpilih dengan proses yang tidak singkat. Awalnya kaum Anshor telah memilih satu orang untuk dijadikan pemimpin yaitu Saad bin Ubadah. Mereka berpendapat bahwa kaumnya lebih berhak memimpin dibanding kaum Muhajirin yang merupakan pendatang. Namun Umar bin Khattab menegaskan bahwa Arab tidak mengenal halsemacam itu. Pada akhrinya kedua kaum sepakat untuk memilih pemimpin dari kaum Quraisy
sebab Rasulullah berasal dari kaum Quraisy. Maka Abu Bakar meminta Umar bin Khattab mengulurkan tangannya untuk dibai’at. Tapi Umar menolak, alasannya adalah pada saat Rasul sakit dan tidak dapat menjadi imam shalat di masjid, Rasul hanya menginginkan Abu Bakar yang menjadi imam shalat menggantikannya. Jadi, Umar berpendapat bahwa Abu Bakar adalah orang yang pantas menjadi pemimpin (khalifah). Begitulah proses musyawarah memilih pemimpin pada saat itu. Bukan dari siapa yang memperoleh dukungan terbanyak, tapi siapa yang terbaik dan pantas untuk menjadi seorang pemimpin.

Musyawarah untuk menentukan pengganti Rasulullah dilakukan oleh perwakilan dari kaum Muhajirin dan Anshar yang dipercaya oleh masing-masing kaumnya. Perwakilan ini disebut ahlul halli wal aqdhi. Ahlul halli wal aqdhi merupakan sebutan bagi orang –orang yang dipercaya untuk memilih pemimpin. Rakyat percaya bahwa perwakilannya dapat memilih pemimpin yang baik. Rakyat menerima dan ikhlas dengan semua keputusan. Tidak sampai disitu, Ahlul halli wal aqdhi juga bertugas untuk memusyawarahkan untuk memilih pemimpin pada saat kepemimpinan Umar berakhir. Konsep one man one vote sangat bertolak belakang dengan
konsep Ahlul halli wal aqdhi. Rakyat memberikan kepercayaan penuh kepada Ahlul halli wal aqdhi yang dianggap mampu untuk mendapatkan hasil keputusan terbaik, karena merekalah yang dari segi ilmu dan pengetahuan sangat jauh diatas masyarakat lainnya. Bandingkan dengan konsep one man one vote, setiap orang memiliki hak yang sama dalam memilih. Jika saja orang yang memiliki hak pilih adalah orang yang tidak berpengetahuan, maka ia akan memilih dengan subjektifitas dirinya. Tidak heran banyak praktik money politic di Indonesia, sebab menarik
massa untuk memilih hanya dengan selembar uang kertas. Sedangkan Ahlul halli wal aqdhi, memilih pemimpin dengan asas musyawarah yang akan menghasilkan keputusan terbaik. Ahlul
halli wal aqdhi akan mencari kelemahan, kekuatan, kekurangan, kelebihan, dan apapun sampai
mememukan titik yang paling pas untuk solusi dari persoalan yang dimusyawarahkan.

Ahlul halli wal aqdhi terdiri dari para ulama, para pemimpin suku, pemuka masyarakat, yang dianggap mampu untuk memilih pemimpin. Apabila dilihat tugas dan fungsi ahlul halli wal
aqdhi hampir bahkan sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau Majelis Permusyawaratan Rakyat. Bedanya, lembaga tersebut kini sudah tidak lagi berhak memusyawarahkan untuk
memilih pemimpin seperti dulu kala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar